Di satu hari, tiba-tiba aku merindukanmu… sangat.
Dan tidak tahu harus bagaimana.
Ingin mendengar suaramu yang selalu seperti hembusan angin musim semi.
Dan tidak tahu harus bagaimana.
Ingin mendengar suaramu yang selalu seperti hembusan angin musim semi.
Dan handphoneku berdering, namamu di sana.
“Hallo?”
“Ya, suaramu masih seperti tiga tahun lalu.”
“Mungkin 80 tahun lagi suaraku baru berubah. Ada apa?”
“Aku sedang di padang dandelion, memikirkanmu.”
“Oh ya? Dandelion itu seperti kelopak yang rapuh, rela saja diterbangkan angin, tapi seperti membawa harapan untuk mendarat di satu tempat dan membuat kenangan dengan putiknya, tunas yang baru, bukan begitu?”
“Ahaha… kapan-kapan aku ajak kau ke sini, melihat dandelion sepuasmu lalu membuat puisi berlembar-lembar tentang dandelion.”
“Kapan-kapan? Kau sudah terlalu banyak menyusupkan kata itu. Apa kau tidak punya kalender? Tentukan satu tanggal saja apa susah?”
“Tanggalan itu bukan milik kalender, tapi milik Tuhan dan kita hanya layak berandai-andai dengan kata-kata itu, kapan-kapan, lebih manusiawi. Seperti kita tidak tahu, besok kuncup dandelion yang berjanji mekar itu akan punya kelopak warna apa? Angin dari arah mana yang akan menerbangkannya? Janji bukankah bergerak lurus dengan rahasia?”
Percakapan berlanjut dengan kita yang selalu
saja berdebat, padahal aku sangat rindu dan tak juga mau mengucapkannya
padamu. setidaknya aku sudah bahagia saat tahu kau memikirkanku di satu
sore di padang dandelion.
Dan aku pun selalu mengunjunginya tiap rindu menyeruak untukmu…
Aku ingin percaya dandelion ini akan terbang
menjelajahi padang bunga yang terbentang memisahkan kita, lalu sampai
di tempatmu berdiri, berputar di sekitar situ menari dengan angin, dan
menepi di dekat telingamu, selembar putih putiknya akan berbisik padamu,
“aku merindukanmu sebanyak kelopak dandelion diseluruh padang bunga.”
Dan saat aku merindu lagi, aku akan duduk di sini, menerbangkan
dandelion-dandelion lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar